Nusantara merupakan istilah yang dipakai
untuk menggambarkan wilayah kepulauan yang membentang
dari Sumatera sampai Papua.
Variasi istilah hiperkorek
yang juga dikenal adalah Nuswantara.
Kata ini tercatat pertama kali dalam literatur berbahasa Jawa Pertengahan (abad ke-12 hingga
ke-16), untuk menggambarkan konsep kenegaraan yang dianut Majapahit. Setelah sempat tenggelam, pada awal
abad ke-20 istilah ini dihidupkan kembali oleh Ki Hajar Dewantara[1] sebagai salah satu nama alternatif
untuk negara merdeka pelanjut Hindia-Belanda yang belum terwujud. Ketika
penggunaan nama "Indonesia" (berarti
Kepulauan Hindia) disetujui untuk dipakai untuk ide itu, kata Nusantara tetap
dipakai sebagai sinonim untuk kepulauan Indonesia. Pengertian ini sampai
sekarang dipakai di Indonesia.
Nusantara
dalam konsep kenegaraan Jawa Majapahit
Gajah Mada menyatakan dalam Sumpah Palapa: Sira Gajah Mada pepatih
amungkubumi tan ayun amukita palapa, sira Gajah Mada : Lamun huwus kalah nusantara
ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring
Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, Hujung Medini (Semenanjung),samana
ingsun amukti palapa.
Kitab Negarakertagama mencantumkan wilayah-wilayah
"Nusantara", yang pada masa sekarang dapat dikatakan mencakup
sebagian besar wilayah modern Indonesia (Sumatra, Kalimantan, Nusa Tenggara,
sebagian Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya, sebagian Kepulauan Maluku, dan
Papua Barat) ditambah wilayah Malaysia, Singapura, Brunei dan sebagian kecil Filipina bagian selatan. Secara morfologi, kata
ini adalah kata
majemuk yang diambil dari bahasa Jawa Kuna nusa ("pulau")
dan antara (lain/seberang).
Penggunaan
modern
Pada tahun 1920-an, Ki Hajar Dewantara
memperkenalkan nama "Nusantara" untuk menyebut wilayah Hindia
Belanda. Nama ini dipakai sebagai salah satu alternatif karena tidak memiliki
unsur bahasa asing ("India"). Alasan ini dikemukakan karena Belanda, sebagai penjajah, lebih suka menggunakan
istilah Indie ("Hindia"), yang menimbulkan banyak kerancuan
dengan literatur berbahasa lain. Definisi ini jelas berbeda dari definisi pada
abad ke-14. Pada tahap pengusulan ini, istilah itu "bersaing" dengan
alternatif lainnya, seperti "Indonesië" (Indonesia) dan
"Insulinde" (berarti "Hindia Kepulauan"). Istilah yang
terakhir ini diperkenalkan oleh Eduard Douwes Dekker.[1]
Ketika akhirnya "Indonesia" ditetapkan
sebagai nama kebangsaan bagi negara independen pelanjut Hindia-Belanda pada
Kongres Pemuda II (1928), istilah Nusantara tidak serta-merta surut
penggunaannya. Di Indonesia, ia dipakai sebagai sinonim bagi
"Indonesia", baik dalam pengertian antropo-geografik (beberapa iklan
menggunakan makna ini) maupun politik (misalnya dalam konsep Wawasan Nusantara).
"Nusantara"
dan "Kepulauan Melayu"
Literatur-literatur Eropa berbahasa Inggris (lalu
diikuti oleh literatur bahasa lain, kecuali Belanda) pada abad ke-19 hingga
pertengahan abad ke-20 menyebut wilayah kepulauan mulai dari Sumatera hingga Kepulauan
Rempah-rempah (Maluku) sebagai Malay Archipelago
("Kepulauan Melayu")[2]. Istilah ini populer sebagai nama
geografis setelah Alfred Russel Wallace
menggunakan istilah ini untuk karya monumentalnya. Pulau Papua (New Guinea)
dan sekitarnya tidak dimasukkan dalam konsep "Malay Archipelago"
karena penduduk aslinya tidak dihuni oleh cabang ras Mongoloid sebagaimana
Kepulauan Melayu dan secara kultural juga berbeda. Jelas bahwa konsep
"Kepulauan Melayu bersifat antropogeografis (geografi budaya). Belanda,
sebagai pemilik koloni terbesar, lebih suka menggunakan istilah "Kepulauan
Hindia Timur" (Oost-Indische Archipel) atau tanpa embel-embel
timur.
Ketika "Nusantara" yang dipopulerkan kembali
tidak dipakai sebagai nama politis sebagai nama suatu bangsa baru, istilah ini
tetap dipakai oleh orang Indonesia untuk mengacu pada wilayah Indonesia.
Dinamika politik menjelang berakhirnya Perang Pasifik (berakhir 1945) memunculkan wacana
wilayah Indonesia yang juga mencakup British Malaya (Malaysia Barat) dan Kalimantan Utara[3]. Istilah "Nusantara" pun
menjadi populer di kalangan warga Semenanjung Malaya, berikut semangat kesamaan
latar belakang asal-usul (Melayu) di antara penghuni Kepulauan dan Semenanjung.
Catatan kaki
1. Justus M. van der Kroef (1951). "The Term Indonesia: Its Origin and Usage".
Journal of the American Oriental Society 71 (3): 166–171. doi:10.2307/595186.
http://links.jstor.org/sici?sici=0003-0279%28195107%2F09%2971%3A3%3C166%3ATTIIOA%3E2.0.CO%3B2-5.
2. Ketika Halaman Sudah Ditetapkan. Tempo Interaktif
edisi 15 Agustus 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar